pemerintahan yang semburat semrawut esai dan kritik dari cerpen M,Shoim Anwar

 

Dyanika Putri Fitriza Suprono/175200071/ PBI /2017 B

UAS Kritik dan Esai

1.Buatlah sebuah esai/kritik sastra  dengan bahan dari cerpen "Sorot Mata Syaila", "Sepatu Jinjit Aryanti",  "Bamby dan Perempuan Berselendang Baby Blue", "Tahi Lalat", dan  "Jangan ke Istana, Anakku"  (semua ada pada link : b).

Sorot Mata Syaila

                                                   Karya : M. SHOIM ANWAR                                                  

Menulis Esai dan kritik dari cerpen Sorot mata Syaila Karya M.soim anwar sebelum membahas hal tersebut puisi saling berhubungan satu sama lain dan saling memiliki makna dan kisah yang sama namun berbeda alur Saja naumun satu tujuan akan ada lima cerpen karya M,shoim anwar yang akan kita esai dan kritik yaitu  "Sorot Mata Syaila", "Sepatu Jinjit Aryanti",  "Bamby dan Perempuan Berselendang Baby Blue", "Tahi Lalat", dan  "Jangan ke Istana, Anakku" , dari semua cerita yang beliau tulis maknanya saling berhubungan satu sama lainuntuk esai dan kritik yang pertama yaitu cerpen "Sorot Mata Syaila" mari kita bedah isi cerpen tersebut menemukan bagian bagian kecil yang sangat penting untuk kedepanya

Abu Dhabi-Surabaya, 1 Januari 2018, penulis menulis karya cerpen ini saat berada di bandara di Bandara Internasional Abu Dhabi, pukul satu dini hari  (kutip puisi Sorot Mata Syaila shoim anwar) dari puisi ini kita sudah belajar satu hal yaitu dimanapun kalian berada tidak ada yang malsa belajar, dan berkarya bisa dimana saja karna kita dalah orang seni yang bisa berfikir sekalipun di dalam pesawat.

Cerita tersebut sebenarnya terfokus pada seorang lelaki yang dikejar oleh hukum yang menyeretnya keranahukum dan dia tidak mau da melarikan diri di Bandara Internasional Abu Dhabi .Pada kalimat di cerpen tersebut yang berbunyi "Semua itu aku lakukan untuk memperlambat proses hukum sambil mencari terobosan lain, termasuk sengaja tidak hadir saat dipanggil untuk diperiksa penyidik"., dikutip dari cerpen "Sorot Mata Syaila". Ada alasan tersendiri kenpa pria tersebut terbang sejauh itu meninggalkan tanah air demi sepucuk keadilantanpa ujung yang dilakukan oleh para peerja pemerintah yang mengaku akan mengayumi namun apa yang diperbuatnya.

Di kutip dari (kalimat cerpen "Sorot Mata Syaila" yang berbunyi)

Perkara ini tidak melibatkan aku seorang diri. Seluruh keluarga, istri dan anak-anak, juga diperiksa karena diduga teraliri dana dalam bentuk kepemilikan saham perusahaan. Si alan, seorang teman anggota parlemen yang menjadi terdakwa “menyanyi” saat di persidangan, termasuk mengungkap liku-liku pemenangan tender yang telah kami skenariokan untuk perusahaan keluarga. Pengakuan itu bahkan telah masuk dalam berita acara pemeriksaan alias BAP. Jumlah kerugian uang negara juga telah disebut.

Ketika beberapa kali disidik oleh pihak kepolisian, aku dapat bocoran bahwa statusku yang semula saksi sudah ditingkatkan menjadi tersangka. Ada yang mengatur agar statusku tidak bocor ke publik. Pada saat itulah aku dengan cepat melarikan diri keluar negeri. Tentu saja dengan beberapa skenario yang sudah kupersiapkan sejak kasusku mulai diungkap. Semua keluarga sudah diskenario agar satu suara, bila perlu bungkam.

Dari situ saya sebagai pembaca mengnalisi  bahwa dari semua cerita yang di tulis pengarang inti dari masalh cerpen terseut berasa di tiga baris yang  sangat menyedihkan untuk di bhasa di depan umum yaitu aib Tanah Air sendiri karena tidak tegasnya hukum di indonesia ini dan semenah menahnya seorang pengadilan dan lemahnya UU ynag klah terhadap sogokan manis para pegawai pemerintah . tujuan mereka licik sekali menutupi kejahatan yang telah di perbuat dengan bukti kalimat sebagai berikut “menyanyi” saat di persidangan, termasuk mengungkap liku-liku pemenangan tender yang telah kami skenariokan untuk perusahaan keluarga. Pengakuan itu bahkan telah masuk dalam berita acara peme riksaan alias BAP. Jumlah kerugian uang negara juga telah disebut. Ada pejabat negra yang jujur malah diincar dan dibungkam agar diam bagaimana negara ini akan maju.      Puisi ini di biar sudah lama namun jika di kisahkan mas kini berbunyi seperti jika ada ketegasan dalam sebuah kejujuran dalam bekerja namun orang tersebut terus dipaksa untuk diam agar semua kisah tidak di ulang lagi, bahkan sampai tegam membunuh istir dan anaknya dalam menanggap lelaki tersebut sungguh enak keadilan di Indonesia ini benci kejujuran,  ingin melihat dirinya kalau diatas

Pada kalimat di cerpen berbunyi

pergi melakukan ibadah ke Tanah Suci jauh lebih baik daripada pura-pura sakit ketika diproses secara hukum. Aku toh berdoa sungguh-sungguh. Berita-berita dari tanah air menyatakan bahwa aku buron sehingga beberapa lembaga antikorupsi ikut menempel posterku di tempat-tempat umum. Tapi biarlah orang lain mau bilang apa. Setiap orang punya cara sendiri-sendiri. Termasuk minta diselimuti dan diinfus di rumah sakit kayak orang mau mati. Pura-pura kecelakaan nabrak tiang listrik juga biarlah. Pura-pura mencret akut saat sidang juga ada.

Pengacara yang kusewa dengan harga mahal pasti sudah memberi penjelasan panjang lebar sesuai permintaanku, termasuk mengajukan praperadilan. Ibarat pesta biskuit, dia telah kutaburi remah-remahnya yang tersisa di kaleng. Sambil menikmati rontokan biskuit dia bicara tak henti-henti membelaku, seperti anjing yang sangat setia melindungi tuannya.

 Pendapat saya yang menyumpulkan bahwa Menandakan dengan uang semua hal bisa di beli dan mendapat perlindungan seakan tidak salah dan ini adalah inti dari cerpen tersenut keadilan seseorang dilihat dari seberapa banyak uang yang mereka, miliki .

Sekalipu  tujuan bagus namun tidak boleh lari dari kesalahan hukum tetaplah hukuman bukan karna anda mempunyai harta bisa semena mena sebenarnya negara ini di rusak oleh manusianya sendiri dan menylahkan pemerintah sebgaia biang kladinya.

Untuk kalimat terakhir yang terdapat pada cerpen "Sorot Mata Syaila".

Cahaya menyorot ke sana. Ah, aku terkejut! Aku melihat istri pertama beserta kedua anakku digantung. Leher mereka dijerat, kaki dan tangannya diserimpung seperti kepompong. Di sebelah mereka aku juga melihat hal yang sama. Istri keduaku beserta dua anaknya juga mengalami hal serupa. Dua orang istri dan empat orang anakku bergelantungan tak berdaya. Seperti menunggu ajal yang segera tiba, mereka merintih-rintih kesakitan.

Aku berusaha meyakinkan diri. Ini bukan mimpi atau sekadar ilusi. Di lorong terdalam Bandara Internasional Abu Dhabi, aku tak berdaya menolong istri-istri dan anak-anakku yang sekarat menghadapi maut. Mereka digantung seperti kambing habis disembelih untuk dikuliti. Barangkali ini adalah ujung dari hidup kami semua. Aku ingin meronta, tapi suaraku tercekat di tenggorokan. Kaki dan tanganku pun terserimpung di lantai lorong yang becek dan pesing.

Lalu di manakah Syaila? Perempuan itu telah melenyap bersama gelap. Sosoknya menghilang tanpa bayang. Sebagai kucing hitam, dia membenam dalam kelam. Aku tersuruk di sini. Menatap kedua istri dan empat anakku yang hampir beku. Seluruh tubuhku juga kaku dan beku. Kelepak itu pun datang kembali bertubi-tubi, terbang mengitari tubuhku untuk dimangsa inci demi inci. ***

Jika di tarik garis makna yang terkandung adalah  perbuatanya di tanggu oleh semua keluarga yang berakhir miris yaitu terkena karma yang telah dibuat sendiri.

 

  Kritik untuk cerpen  tersebut  puisi ini mengandungkata kias kalau tidak dibaca hati hati bisa bisa salah mengartikan makna dan membela peran lelaki tersebut baca penuh teliti inti masalh cerpen tersebut ada di tengah yang mampu menjawab teka teki yang ada pada cerpen tersebut ceritanya membuat penasaran dan membuat ingin membaca cerita berikutnya

 

Untuk judul cerpen kedua yang akan kita jadikan sebagai esai dan kritik

Yaitu karya dari M. SHOIM ANWAR.

Sepatu Jinjit Aryanti

karya dari M. SHOIM ANWAR.

Esai dan kritik dari cerpen Sepatu Jinjit Aryanti karya M.Shoim Anwar adalah cerpen yang ditulis di Surabaya, 9 Januari 2017 oleh penyair ternama dan dengan karya yang spektakuler sekali sampai pembaca ketagihan untuk terus membaca cerpen tersebut kali ini saya akan menulis esai dan kritik dari cerpen tesebut setelah saya baca dari awal sampai akhir cerpen ini menceritakan tetang seorang wanita yang bekerja ,Dia seorang caddy di lapangan golf.Sengaja kata itu digunakan dan aku harus menerjemahkannya sendiri. Ambigu, tapi sudah menjadi kelaziman agar pemberi perintah dapat berkelit ketika terjadi hal yang tidak dikehendaki. Dan pastilah aku yang dipersalahkan dan dikorbankan. Sebuah pertaruhan klasik seorang bawahan.

Sementara itu, Aryanti harus menurut karena skenario besar telah dimainkan yang juga mempertaruhkan nyawanya sendiri. Maka, Aryanti pun harus ditempel dan tak boleh lepas dari pantauan. Meski awalnya tampak ketakutan, lama-lama dia bisa mencair karena sudah mengenalku dengan baik. Barangkali kehadiranku sebagai penyelamat juga diharapkan karena dia diusik banyak orang dan diburu para pencari berita.

 

Cahaya gemerlap memenuhi segala arah di kedua negeri.

Aku mendapat perintah untuk ’’menyembunyikan” Aryanti dengan ’’berbagai cara” karena dia adalah saksi mahkota terkait kasus pembunuhan orang

 penting yang direncanakan. Sengaja kata itu digunakan dan aku harus menerjemahkannya sendiri. Ambigu, tapi sudah menjadi kelaziman agar pemberi perintah dapat berkelit ketika terjadi hal yang tidak dikehendaki. Dan pastilah aku yang dipersalahkan dan dikorbankan. Sebuah pertaruhan klasik seorang bawahan.

Menyebut bahwa saksi yang akan menjadikannya sebagai pelaku dalam tidak ingin terjadi aryani di diamkan atau di sembunyikan agar persidangan gak

"Tahi Lalat"

Karya:M.Shoim Anwar

 

ada kutipan tersebut, dapat diketahui bahwa penyalahgunaan kekuasaan setingkat kepala desa (lurah) pun terjadi di negeri ini. Dikatakan lurah tersebut menggunakan cara yang licik demi kepentingan pribadinya. Tak sedikit pun warga yang kehilangan sawah ladang karena bujuk rayu Pak Lurah.

Kesewenang-wenangan dalam menggunakan kekuasaan tidak hanya terjadi di tingkat lurah saja. Pada kenyataannya, lembaga atau instansi yang bertugas atau yang berkewajiban sebagai penegak keadilan atau hukum juga menyalahgunakan kekuasaannya demi kepentingan pribadi. Hal ini memang terdengar aneh di telinga. Namun, seperti itulah fakta yang ada di Indonesia.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

seperti yang sudah dituangkan M Shoim Anwar pada kutipan cerpen Bambi dan Perempuan Berselendang Baby Blue berikut:

 

 

“Aku ingin bicara,” kata saya di mulut toilet.

“Bicara apa?” Bambi mengarahkan pandangan ke muka saya.

“Putusanmu. Mengapa aku kau kalahkan?”

“Aku sudah mengusahakan agar kau yang menang di pengadilan, tapi tak ada dissenting opinion.

“Bagaimana ada, wong hakim tunggal, cuma kamu saja!”

“Sudah saya mintakan pendapat di luar sidang.”

“Yang mimpin sidang kan kamu. Dengan hakim tunggal mestinya kau bisa putuskan sesuai janjimu!”

Bambi tampak sangat tidak nyaman. Wajahnya memerah, dia lihat ke segala arah. Sengaja saya menghadang langkahnya agar tidak menghindar. Saya pun sengaja mengeraskan suara agar didengar banyak orang.

“Pengacara tergugat pintar. Dia bisa menggugurkan tuntutan jaksa.”

“Tapi mengapa dulu kamu mendorong-dorong aku agar menggugat perkara itu. Kamu panas-panasi aku. kamu menjanjikan akan memenangkan aku. Terus untuk apa kamu minta uang segitu banyak yang katany auntuk minta tolong pada anggota majelis lainnya? Kau bagikan pada siapa saja uang itu? Atau kau nikmati sendiri?”

“Jangan bicara seperti itu. Kamu bisa dikenakan pasa perbuatan tidak menyenangkan dan mencemarkan nama baik.”

“Aku tidak bodoh. Saat penyerahan uang itu di rumah, aku sudah pasang CCTV agar bisa merekam semuanya. Sudah telanjur basah.”

Bambi sontak terperangan lagi, wajahnya warna bunga waribang. Dia berusaha lepas dari blockade. Saya menghalanginya dengan merentangkan tangan.

“Kamu bisa banding kalau tidak puas,” katanya kemudian. 

“Itu rusan nanti!”

“Masih ada waktu tiga hari,” Bambi mengacungkan jarinya.

“Di pengadilan tinggi yang ngurusi sudah beda. Omongnya saja bisa memenangkan kasus. Mana buktinya? Gombal!”

 

Dari kutipan cerpen di atas dapat disimpulkan, adanya seorang hakim yang menyalahgunakan kekuasaannya dengan menerima uang suap agar memberikan kemenangan kepada penyuap atas kasus yang diperkarakan di pengadilan.  Kenyataan yang sungguh tragis, seorang hakim yang semestinya berperilaku adil justru dapat menerima uang suap begitu mudahnya. Apa yang diceritakan M Shoim Anwar dalam cerpen tersebut tidak jauh berbeda dengan kondisi yang ada di Indonesia sekarang. Banyak terjadi kasus penyuapan hakim, bahkan hingga setingkat kejaksaan agung.

Obral janji-janji palsu mungkin sudah menjadi makanan sehari-hari bagi masyarakat Indonesia. Seperti tokoh Bambi (hakim) dalam cerpen Bambi dan Perempuan Berselendang Baby Blue,Ia sering kali mengobral janji untuk memenangkan sidang di pengadilan. Obral janji-janji palsu tidak hanya terjadi pejabat kekuasaan tertinggi. Namun, pejabat setingkat kepala desa sudah menjadi hal yang biasa dirasakan oleh masyarakat, seperti pada kutipan cerpen Tahi Lalat berikut:

 

Bulan depan adalah masa pendaftaran calon lurah atau kepala desa di sini. Konon Pak Lurah akan mencalonkan kembali untuk periode berikutnya. Tak ada yang bisa mencegahnya meski janji-janjinya yang dulu ternyata palsu. 

 

Selain kedua permasalahan tadi, permasalahan yang terbesar di Indonesia ialah maraknya kasus korupsi. Kelicikan kaum borjuis atau penguasa tidak dapat dipungkiri hingga merugikan keuangan negara dalam jumlah yang sangat besar. Segala cara dilakukan untuk mendapatkan, dan segala untuk menghindari hukuman. Berbagai cara tersangka kasus korupsi menghindari pengadilan telah dijelaskan pada kutipan cerpen Sorot Mata Syaila berikut:

 

Nanti, ketika berkas perkaraku dilimpahkan ke kejaksaan untuk dibuat tuntutan, aku dapat informasi bahwa statusku sebagai tersangka mau tak mau akan terbuka di kejaksaan. Pun sudah ada yang memberi tahu bahwa kejaksaan akan meminta pihak imigrasi untuk mencekal aku pergi ke luar negeri. Dan benar, ketika berita ramai tersiar bahwa aku dicekal, posisiku sudah di luar negeri. Inilah enaknya punya jaringan khusus di lembaga peradilan. Aku merasa sedikit beruntung kasusku ditangani mereka. Andai yang menangani KPK, mungkin aku sudah meringkuk di sel.

Bagiku, pergi melakukan ibadah ke Tanah Suci jauh lebih baik daripada pura-pura sakit ketika diproses secara hukum. Aku toh berdoa sungguh-sungguh. Berita-berita dari tanah air menyatakan bahwa aku buron sehingga beberapa lembaga antikorupsi ikut menempel posterku di tempat-tempat umum. Tapi biarlah orang lain mau bilang apa. Setiap orang punya cara sendiri-sendiri. Termasuk minta diselimuti dan diinfus di rumah sakit kayak orang mau mati. Pura-pura kecelakaan nabrak tiang listrik juga biarlah. Pura-pura mencret akut saat sidang juga ada.

 

Seperti biasa, istana tetap tak ramah. Para penjaga juga tetap tak boleh kumpul bersama. Kami dipisah sendiri-sendiri. Tidur sendiri-sendiri. Makan sendiri-sendiri. Berkumpul hanya ketika dikomando di lapangan terbuka untuk urusan jaga semata. Komunikasi antar penjaga hanya ketika berpapasan, atau mencuri kesempatan ketika dikumpulkan.

 

 Bagi mereka para kaum borjuis atau penguasa, semua adalah milik mereka. Hak untuk hidup seakan-akan tidak dimiliki oleh rakyat jelata. Segala urusan diatur oleh negara dan penguasanya. Rakyat jelata hanya bisa pasrah dengan apa yang ada. Seperti dalam kutipan cerpen Jangan ke Istana, Anakku berikut:

 

Istana yang laknat. Mengapa aku, istri, dan anak kesayanganku, semua diganyang oleh istana. Sudah sering aku melihat kejadian serupa. Perempuan muda dibawa masuk dihadapkan baginda. Lalu musnah tak ada ceritanya.

 

            Dari kelima cerpen terebut dapat disimpulkan bahwa di Indonesia banyak sekali penyalahgunaan kekuasaan, intimidasi penguasa, kasus korupsi, nepotisme, pelarian diri tersangka kasus dari persidangan, dan hak bersuara rakyat yang dibungkam. Namun, pada faktanya tidak semua kaum borjuis atau penguasa melakukan hal itu semua. Sebagian dari mereka ada yang bersikap adil dan peduli terhadap rakyat. Apa yang disebutkan dalam kelima cerpen tersebut hanyalah kasus yang sering terjadi di Indonesia.

 Demikian pembahasan kritik dan esai cerpen karya M Shoim Anwar dengan tema “Representasi sosial, hukum dan politik di Indonesia”.

 

 

 

 

 

 

 

 

Komentar